Pamit yang Tak Selesai


Kata orang, cinta itu seperti Mie Instan. Cepat saji, gampang bikin kenyang, tapi kalau dimakan tiap hari, bisa kolesterol.


Gue dan Vara udah pacaran empat tahun. Empat tahun bukan waktu yang sebentar, tapi juga bukan waktu yang cukup buat gue punya jawaban setiap kali dia nanya, “Kapan kita nikah?”


Pertanyaan itu udah kayak notifikasi WhatsApp yang dibaca tapi gak dibalas. Bukan karena gak mau bales, tapi karena takut salah ngomong.


Gue inget banget pertama kali ketemu Vara. Dia anak baru di kantor gue, bagian finance. Mukanya manis, rambutnya selalu dikuncir kuda, dan dia punya kebiasaan aneh: setiap selesai minum Le Minerale, dia selalu pencet botolnya sampai penyok. Alasannya? “Biar gak diisi ulang sama setan.”


Gue gak ngerti logika itu, tapi itulah awal mula gue suka. Cewek yang takut air daur ulang pasti punya hati yang jernih.


Kami sering pulang bareng, makan siang bareng, dan akhirnya... jatuh cinta bareng.


***


Empat tahun berlalu. Kita udah gak sekantor lagi. Vara pindah kerja ke perusahaan lain. Perusahaan yang libur hari sabtu. Itu penting buat dia, sebab dia mau sambil kuliah di akhir pekan.


Gue? Masih di tempat lama. Masih harus tetap masuk kerja di hari sabtu, bahkan meski barengan sama tanggal merah atau cuti bersama. Itu yang bikin gua jarang punya waktu buat Vara.


Malam itu, kita lagi makan di warung tenda pinggir jalan. Anginnya dingin, langitnya abu-abu, dan gorengan yang dateng kayak udah 3 kali dipanasin ulang.


Vara duduk di depan gue. Dia gak banyak ngomong malam itu. Matanya sering ngeliatin motor-motor yang lewat, seolah ada yang lebih penting daripada cowok yang udah nemenin dia dari zaman fotonya masih pakai filter sepia.


“Dil,” katanya pelan.


“Hm?”


“Kalau aku nanya serius, kamu jawab serius ya?”


Gue mengunyah tempe mendoan seolah itu akan jadi jawaban dari semua masalah.


“Kapan kamu siap buat nikah?”


Glek.


Gue gak langsung jawab. Karena jujur, kepala gue langsung muter kayak nyari sinyal Wi-Fi. Jawaban yang tepat harus bisa bikin dia tenang, tapi juga gak bikin gue kejebak dengan perjanjian yang belum gue siapin.


“Aku lagi nabung, Va,” jawab gue akhirnya.


“Udah empat tahun, Dil. Nabung terus. Nabung buat apa sih, beli kapal pesiar?”


Gue diem. Karena kapal pesiar emang gak masuk list tabungan gue, tapi motor baru iya.


Dia narik napas panjang. “Aku bukan nyuruh kamu besok nikah. Tapi... aku pengin tahu aja, kamu serius gak sih?”


Gue pengin jawab, “Serius.” Tapi entah kenapa, kata itu nyangkut di tenggorokan gue. Serius itu berat. Serius itu artinya nyiapin masa depan. Sedangkan gue, jujur aja, ngerasa masa depan gue masih kayak sinetron: panjang, gak jelas, dan penuh iklan.


“Aku capek sama kamu,” ucapnya di sela suara gerimis yang mulai turun, “udah hampir 5 tahun tapi kamu masih gini-gini, aja,”


“Gini-gini aja, gimana?”


“Ya, kamu gak nunjukin keseriusan kamu, kayaknya kamu cuma anggap hubungan ini main-main aja, kayak kisah cinta monyet abege.”


“Vara, aku serius, aku beneran …,”


“Kamu bahkan nggak pernah temuin aku sama keluarga kamu.”


“Belum, Var. Bukan nggak.”


“Terus nunggu kapan? atau kamu cuma ngulur-ngulur waktu sampai kamu nemuin orang yang bener-bener bikin kamu yakin untuk dikenalin ke orang tua kamu, iya?”


“Bukan gitu,”


“Sebelum itu terjadi, lebih baik aku yang mundur duluan, aku ga mau buang-buang waktu. Tahun ini aku dua puluh enam tahun, aku butuh kepastian.”


Kalimat terakhir itu tak mampu gue jawab, sampai akhirnya ia beranjak dengan raut kecewa.


Akhirnya malam itu kita pulang tanpa pelukan, tanpa genggaman tangan, tanpa ciuman di jidat yang biasanya jadi penutup hari. Hanya ada senyuman tipis dari dia, dan perasaan bersalah dari gue.


***


Minggu sore. Langit cerah. Angin sepoi-sepoi. Cuaca yang ideal buat datang ke rumah pacar dan menjelaskan kenapa kamu butuh waktu empat tahun buat memutuskan hal yang harusnya bisa diputuskan sejak tahu kita sama-sama suka Barcelona.


Gue berdiri di depan kaca, pakai kemeja paling formal yang gue punya. Warna biru muda, agak kusut, tapi harumnya nyengat karena gue semprot parfum sampai tiga lapis. Di dalam hati gue yakin: penampilan bisa menipu, tapi niat baik harus dibungkus wangi.


Gue bawa kotak kue bolu kukus yang dibeli di toko yang ada AC-nya, biar kesannya premium. Padahal promo buy 1 get 1. Yang satunya udah gue sikat tadi siang.


Di perjalanan naik motor, gue bolak-balik latihan kalimat pembuka.


"Bu, saya ke sini mau bicara soal masa depan saya dan Vara."


Terlalu formal. Ulang.


"Bu, saya cinta sama anak Ibu dan saya pengin serius."


Kok kayak lamaran langsung ya? Ulang.


Akhirnya gue nyerah dan bilang ke diri sendiri: improvisasi aja, Dil. Hidup lo juga gak ada naskah, kan?


***


Rumah Vara tidak terlalu besar tapi rapih, dan penuh bunga plastik di ruang tamu. Wangi dari pengahrum ruangan yang menyemprot otomatis setiap 10 menit  samar-samar mengisi udara. Ibu Vara—yang biasanya dipanggil Bu Retno—membukakan pintu dengan senyum tipis, kayak baru selesai maraton nonton sinetron religi.


“Oh, Fadil… masuk, Nak.”


"Nak." Kata yang penuh makna, tapi juga penuh ujian. Karena biasanya, setelah "Nak", yang datang kemudian bukan "makan dulu", tapi "kamu kerja apa sekarang?"


Vara duduk di ujung sofa, senyumnya agak canggung. Dia kayak tahu percakapan sore ini bakal masuk ke wilayah-wilayah yang bisa mengubah hidup, atau minimal... hubungan.


Setelah basa-basi tentang cuaca, pekerjaan, dan betapa kue bolunya "manis banget ya, pas banget sama kopi" (padahal terlalu manis), akhirnya Bu Retno nanya:

“Jadi... kamu ke sini mau ngomongin apa, Dil?”


Gue tarik napas.


“Bu... saya sayang sama Vara. Dan saya udah mikir lama. Saya pengin serius.”


Diam.


Vara ngeliat gue. Mungkin dia kaget karena gue akhirnya ngomong juga. Atau mungkin dia deg-degan nunggu reaksi ibunya.


Bu Retno tersenyum, lalu mengangguk pelan. Tapi senyumnya beda. Ada sesuatu di balik itu.


“Fadil,” katanya. “Saya tahu kamu anak baik. Saya juga tahu kamu tulus.”


Gue mulai senyum, dikira lampu hijau.


“Tapi… Vara belum lulus kuliah,  Saya bahkan masih harus bantu biaya kuliahnya. Belum ideal kayaknya kalau kalian mau ke jenjang yang lebih serius. Kamu sendiri kuliahnya gimana, Nak? semester berapa?”


Gue langsung kikuk. Pertanyaan yang selama ini gue hindari datang juga. Gue gak kuliah. Setelah SMA, gue langsung kerja bantu bokap di bengkel, terus lanjut kerja kantoran karena dapet kenalan. CV gue tuh tipis, kayak pembalut hari terakhir.


“Gak kuliah, Bu...” jawab gue pelan.


Dia mengangguk, pelan. “Kerja sekarang di mana?”


“Sama kayak dulu, Bu. Di kantor lama Vara, Tapi saya nabung, Bu. Saya bener-bener niat.”


Dia gak langsung jawab. Matanya menatap gue, dalam. Bukan tatapan marah, tapi tatapan kasihan. Yang lebih nyakitin daripada makian.


“Fadil... saya ibu tunggal. Saya besarin Vara sendirian. Saya cuma pengin dia hidup lebih baik. Lebih aman. Lebih pasti.”


Gue gak bisa nyalahin dia. Di usianya, keamanan adalah kemewahan. Dan gue? Gue bahkan belum punya asuransi, gua yang walaupun udah hampir 5 tahun tapi belum jadi karyawan tetap. Intinya gua belum aman.


Sore itu, pembicaraan selesai tanpa kata setuju atau tolak. Tapi gue tahu dari cara Bu Retno nganterin gue sampai teras—dengan dua tangan saling menggenggam di depan dada dan senyum kaku—itu bukan sambutan calon menantu. Itu sambutan tamu biasa. Yang boleh mampir, tapi gak boleh menginap.


Di motor, dalam perjalanan pulang, angin kerasa lebih dingin dari biasanya. Mungkin karena gue baru aja sadar... cinta doang gak cukup.


Dan untuk pertama kalinya dalam empat tahun, gue ngerasa... mungkin gue akan kehilangan Vara.


***


Seminggu setelah pertemuan dengan Bu Retno, hubungan gue dan Vara berubah.


Dulu, chat kita panjang-panjang, isinya random mulai dari link TikTok anak kecil nyanyi lagu rock, sampai perdebatan klasik: Mie Oven itu sebenernya mie atau spageti?


Sekarang?


Satu chat bisa dibalas besok. Bahkan kadang cuma dibaca.


Gue ngerti. Ada yang berubah.


Malam itu, gue ajak dia ketemu di tempat biasa—taman kecil di deket pertigaan gak jauh dari kantor gua, tempat yang dulu sering kita pake buat makan siang sambil ngerasain hidup sebelum HRD tau kita pacaran satu kantor.


Dia datang dengan sweater favoritnya, yang sekarang udah mulai pudar. Tapi tetap cantik. Bahkan mungkin lebih cantik dari empat tahun lalu.


Dia duduk, gue duduk.


Dan hening.


Bukan hening yang canggung. Tapi hening yang dalam, kayak dua orang yang sama-sama tahu, pembicaraan ini gak bakal lucu.


“Mama bilang… ” katanya akhirnya.


Gue ngangguk pelan.


“Aku udah bahas sama mama semaleman,”


Gue tarik napas. “Aku ngerti kalo Mama kamu gak yakin. Aku juga gak bisa maksa. Tapi... aku pengin kamu tahu, aku serius.”


Dia ngelihat gue. Lama. Lama banget, kayak nyari kebenaran dari garis wajah yang udah hapal dia lihat tiap hari.


“Aku percaya kamu serius, Dil,” katanya. “Tapi... kadang serius aja gak cukup.”


Gue diem. Serius aja gak cukup. Gue pengin bantah, tapi kenyataannya? Iya. Serius itu baru langkah awal. Sisanya harus dibarengin kemampuan. Keberanian. Dan kesiapan nyata.


“Aku sayang kamu, Dil. Selalu. Tapi sekarang... aku capek jadi orang yang terus nunggu.”


“Aku gak minta kamu nunggu, Va. Aku cuma minta... sedikit waktu lagi.”


Dia senyum tipis. Senyum yang lebih sedih daripada tangis.


“Waktu kadang gak bisa beli rasa aman.”


Hening lagi.


Dan akhirnya... kita bicara tentang sesuatu yang belum pernah dibahas selama empat tahun: kemungkinan untuk jalan masing-masing dulu.


“Aku gak mau kita saling nyakitin,” katanya. “Mungkin... kita butuh jarak. Buat lihat semuanya lebih jernih.”


Gue pengin bilang: jangan. Tapi kadang, menahan orang yang udah setengah jalan pergi itu lebih egois daripada melepas.


“Jadi... kita break?” tanya gue, pelan.


Dia gak langsung jawab. Tapi tatapannya cukup jadi jawaban.


Malam itu, gue pulang dengan hati yang aneh. Bukan patah. Tapi kosong. Kayak lemari yang udah gak dipake, tapi lo masih suka buka-buka cuma buat lihat... masih ada kenangan di dalamnya, gak?


Gue gak nangis. Karena kadang... laki-laki gak nangis bukan karena gak sakit. Tapi karena rasa sakitnya udah gak tahu harus keluar lewat mana.


***


Setelah malam itu, hidup gue kayak dipencet tombol reset. Tapi bukan reset yang bikin hidup jadi fresh, lebih ke reset yang bikin lo sadar: ternyata hidup lo dulu gak jelek-jelek amat.


Gue mulai kerja lebih keras. Masuk lebih pagi, pulang lebih malam. Gue mulai ikut kursus online gratis yang banyak banget di YouTube, belajar desain grafis, copywriting, bahkan digital marketing. Pokoknya semua hal yang ending-nya bisa ditulis di bio LinkedIn. Satu lagi gua berniat untuk kuliah Online di Universitas Terbuka.


Bukan. Bukan untuk membuktikan bahwa gua bisa kuliah, tapi murni untuk meng-upgrade kualifikasi gua. Percakapan dengan nyokapnya Vara kemarin lumayan bikin mata gua kebuka. Karna jaman sekarang memang S1 adalah  bare minimum buat para perusahaan ngasih syarat ke calon karyawannya. 


Gue juga berhenti scrolling Instagram lama-lama. Karena tiap liat story dia, dada gue sesek. Bukan karena dia bahagia, tapi karena gue bukan lagi bagian dari kebahagiaannya.


Sampai suatu hari...


Gue ketemu Naya, temen lama yang  juga temennya Vara waktu dulu  masih sama-sama sekantor sama gua. Sekarang Naya udah pindah juga, tapi tetap sering nongki bareng Vara. Kami ketemu gak sengaja di halte bus, sama-sama nunggu tapi tujuannya beda.


“Oh my God, Fadil?” Naya nunjuk gue kayak baru nemu barang diskonan di IKEA.


“Hai, Nay. Lama banget gak ketemu ya,” jawab gue canggung, karena udah lama gak senyum di depan orang yang tau masa lalu gue.


Kita ngobrol sebentar, basa-basi, nanya kabar masing-masing. Sampai akhirnya Naya nanya, “Lo masih sama Vara?”


Gue cuma geleng.


“Oh… pantes,”


“Pantes?” gua gak paham maksud Naya.


Dia sempat keliatan ragu, tapi akhirnya bilang. “Dia deket sama anak bosnya. Pernah beberapa kali diajak nongkrong bareng. Namanya Adwin. Anaknya tuh... ya lo tau lah, orang kalau datang ke tongkrongan mobilnya gonti-ganti.”


Gue ketawa kecil. Tapi bukan ketawa lucu. Lebih ke... yaudah, pasrah aja. Ketawa karena sedih udah gak bisa nangis.


“Kayaknya serius, ya mereka?” gue tanya.


Naya ngangguk. “Gue sih gak mau ikut campur. Tapi ya... mungkin Vara lagi nyari yang lebih... siap.”


Kata itu lagi.


Siap.


Siap itu jadi standar baru yang gak pernah gue penuhi.


Malamnya, gue buka Instagram. Jari gue tremor waktu ngetik nama akun Vara. Tampilannya masih sama: foto pantai, kutipan buku, selfie di lift, makanan yang diblurin background-nya.


Dan satu postingan baru.


Foto kopi berdua. Ada tangan laki-laki lain di sana. Bukan tangan gue. Tangan yang pake jam mahal dan sweater branded.


Caption-nya cuma satu kata:


“Akhirnya.”


Gue ngerasa kayak dijatuhin dari lantai dua, terus pas bangun dijatuhin lagi dari lantai tiga.


Gue duduk di kamar, lampu mati, cuma lampu monitor laptop yang nyala. Di speaker, lagu-lagu galau muter, bukan karena pengin sedih, tapi karena sekarang sedih udah jadi default setting.


Gue buka folder lama di laptop: /Kenangan_Vara/
Isinya foto-foto kita, video pendek pas ulang tahun dia yang ke-23, rekaman suara dia ngambek karena gue lupa bawa saus sambal.


Semuanya masih ada. Tapi sekarang udah kayak museum. Bisa diliat, tapi gak bisa disentuh.


Gue pengin marah. Tapi marah sama siapa? Sama diri sendiri? Sama nasib? Sama realitas?


Atau... sama kenyataan bahwa kadang cinta itu gak kalah sama orang ketiga, tapi kalah sama waktu yang gak pernah tepat?


***


Gue pernah baca kalimat di Twitter, yang entah siapa nulis, tapi rasanya nancep:


“Kadang, mencintai berarti ngelepasin. Bukan karena lo gak cinta lagi, tapi karena lo sadar, lo bukan rumah yang dia pengin pulangin.”


Gue screenshot kalimat itu. Bukan buat dishare ke InstaStory biar dia liat, tapi karena gue takut lupa. Kadang, yang bikin kita kuat tuh cuma kalimat-kalimat random yang muncul tengah malam waktu lo lagi nyari jawaban, tapi yang lo dapet malah quotes bijak pake background foto langit.


Sudah dua bulan sejak terakhir gue ketemu Vara. Kontak udah minim. Sekadar “semoga sehat ya” waktu ulang tahun, dan dibalas “makasih, semoga kamu juga bahagia” dengan emoji senyum yang kalau diartiin: aku baik-baik aja tanpa kamu.


Dan gue berusaha untuk bener-bener ngelepas.


Bukan gampang.


Banget.


Kadang tengah malam gue kebangun cuma karena mimpi kita lagi makan bakso bareng. Bangun-bangun kangen, terus nyadar… sekarang dia makan bakso-nya bareng orang lain. Mungkin lebih enak, lebih pedes, dan tentu... lebih mapan.


Tapi justru di situ gue belajar.


Belajar bahwa cinta gak bisa diukur dari seberapa lama lo bertahan, tapi seberapa rela lo ngelepas ketika lo udah bukan pilihan.


Satu sore, gue lagi duduk di taman deket rumah, sendirian. Di bangku yang sama kayak dulu waktu gue pernah ngelamun tentang nyicil rumah bareng Vara, punya anak dua, terus hidup damai tanpa cicilan kartu kredit.


Tiba-tiba ada bapak tua duduk di samping gue, bawa rokok kretek.


“Sendirian aja, Nak?” katanya.


Gue angguk.


“Lagi mikir cewek ya?”


Gue kaget. Emangnya muka patah hati tuh gampang banget keliatan, ya?


“Dulu saya juga gitu,” lanjutnya. “Pacaran sama cewek lima tahun, akhirnya nikah sama orang lain.”


Gue nengok. “Terus sekarang gimana, Pak?”


Dia senyum kecil. “Saya bahagia. Tapi bukan karena saya dapet yang saya mau, tapi karena saya belajar nerima yang saya perlu.”


Kalimat itu gak langsung bikin gue tercerahkan. Tapi malam itu gue pulang sambil mikir: mungkin hidup gak ngasih kita yang kita minta, karena kita lagi disiapin buat sesuatu yang gak kita sangka.


Dua minggu kemudian, gua diangkat jadi karyawan tetap. Gua juga udah resmi jadi mahasiswa UT. Ini bukan pencapaian yang gimana-gimana banget,  tapi cukup buat bikin gue ngerasa: akhirnya, ada langkah maju.


Dan yang paling penting… gue mulai gak mikirin Vara setiap lima menit sekali.


Mungkin sekarang gue cuma jadi kenangan dari masa lalu dia. Tapi gak apa-apa. Karena dia juga bakal selalu jadi bagian dari cerita gue—bagian paling manis dari rasa paling pahit.


Dan kalau nanti, di masa depan, gue ketemu dia lagi... mungkin kita bakal senyum. Mungkin kita cuma bilang, “Apa kabar?”


Tanpa rasa sakit, tanpa dendam.


Cuma dua orang yang pernah saling cinta, pernah saling lepas, dan akhirnya saling paham… bahwa gak semua yang indah harus dimiliki selamanya.


Gue ngelepas kaca mata untuk ngusap mata gue yang berair, bukan habis nangis tapi memang perih sebab gua baru aja selesai ngetik chat untuk Vara yang mungkin gak akan pernah berani gua kirim.


Untuk Vara,
yang dulu pernah aku sebut rumah,

Apa kabar?


Aku gak yakin surat ini bakal kamu baca. Mungkin aku cuma nulis buat diri sendiri, karena kadang, satu-satunya cara buat ngeluarin perasaan yang gak pernah sempat disampaikan… ya cuma dengan nulis.


Vara, aku masih inget banget pertama kali kita kenal. Di pantry kantor, kamu lagi ngeributin kopi sachet yang rasanya beda padahal mereknya sama. Aku ketawa, dan kamu bilang aku gak punya lidah. Dari situ, semuanya mulai. Kita jadi dua orang yang saling ganggu, lalu saling jaga, lalu… entah sejak kapan, jadi saling harap.


Empat tahun bukan waktu yang sebentar. Kita lewati banyak hal. Dari gaji UMR sampai makan siang patungan, dari nebeng motor ke kantor sampai ngerancang tabungan masa depan yang gak pernah kesampean.


Dan aku... minta maaf.


Minta maaf karena aku telat siap.
Karena aku gak bisa bikin ibumu yakin.


Karena aku terlalu sibuk membuktikan ke dunia bahwa aku bisa, sampai lupa bahwa kamu gak minta dunia—kamu cuma minta keyakinan.


Tapi kamu juga harus tahu... aku gak pernah main-main.


Waktu aku bilang mau serius, itu dari hati yang paling dalam. Meski caraku salah, dan waktunya juga gak tepat.


Sekarang aku tahu, cinta gak cukup kalau cuma dari satu pihak. Cinta juga butuh timing yang pas. Butuh restu. Butuh kesiapan yang bukan cuma diucap, tapi dibuktikan.


Aku dengar kamu bahagia sekarang. Sama seseorang yang lebih siap, dan mungkin... lebih layak.


Dan itu bikin aku senang. Sakit, iya. Tapi juga lega. Karena kamu pantas bahagia. Bahkan kalau itu bukan sama aku.


Aku gak akan ganggu lagi. Gak akan cari kamu di sosmed, gak akan tanya-tanya lewat teman. Tapi satu hal yang gak akan pernah hilang...

Adalah rasa terima kasih.

Terima kasih udah pernah jadi tempat pulang.


Terima kasih udah sabar nunggu aku yang bego ini.


Dan terima kasih... karena pernah sayang sama aku, di saat aku bahkan belum bisa sayangin diriku sendiri.


Kalau suatu hari kita ketemu lagi, entah di cafe, di parkiran mall, atau di jalan yang gak sengaja, aku cuma pengin senyum dan bilang:


“Aku pernah punya cinta yang paling tulus. Tapi aku belajar, mencintai gak selalu berarti memiliki. Dan itu gak apa-apa.”


Selamat ya, Vara.
Untuk hidup baru kamu.
Untuk orang baru yang sekarang kamu genggam tangannya.


Jaga dia baik-baik... kayak dulu kamu pernah jaga aku.



Yang masih belajar berdamai,
Fadil.


EPILOG:

Chat itu, gua copy, gua simpan di notepad. Gak pernah gue kirim. Gak pernah  gue tunjukkan ke siapa-siapa.


Karena pada akhirnya, sebagian cinta memang gak perlu dikatakan. Cukup disimpan di tempat paling sunyi—dalam kenangan, dalam doa, dan dalam senyuman kecil waktu kita berhasil melepas... tanpa dendam.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.