Cinta Dalam Diam | Versi Rama

Kisah ini berawal saat aku duduk di bangku sekolah menengah atas, tahun dimana tarif sms masih 350 rupiah. tahun ketika handphone masih jadi barang super mewah, dan tahun di mana aku pertama kali jatuh cinta.


Cerita ini terjadi di sebuah kota kecil di Sumatera Selatan, bernama Baturaja.


Kenalin namaku Rama. Aku adalah seorang siswa kelas 2 SMA, sekaligus anggota OSIS di SMA Sentosa Bhakti Baturaja. Hobiku main futsal. Tapi sejak tahun ajaran baru kemarin, aku punya satu hobi baru, yaitu bengong. Iya, tepatnya saat aku menatap gadis berlesung pipit itu. Aku pasti akan langsung bengong, seolah tersihir oleh pesona kedua bola matanya yang indah.


Namanya Diska, adik kelasku di sekolah. Tak banyak yang aku tahu tentang dia, orangnya agak pendiam.


Perasaan ini muncul saat pertama kali aku bertemu dengannya di halaman sekolah. Pada hari pertama MOS. Dia adalah siswa baru, sedangkan aku kakak tingkat yang kebetulan mendapat tugas memimpin kelasnya dalam program orientasi ini. Perempuan hitam manis itu lupa membawa dasi. Padahal semua siswa diwajibkan memakai seragam lengkap.


"Baru hari pertama aja udah gak disiplin," bentakku. Aku baru saja ingin menghukumnya tapi semua berubah ketika aku beradu tatap dengannya. Mata itu memang benar-benar mengandung sihir. Aku tak berkutik dan hampir salah tingkah dibuatnya. Untung aja Winda, temen sesama anggota osis datang di saat yang tepat. Dia memberikan sebuah kalung yang terbuat dari karangan bulu ayam yang dicabut dari kemoceng.Langsung saja ku ambil kalung itu, kemudian aku segera mendekati Diska untuk memasangkan di lehernya.


Tatapan berikutnya benar-benar membuatku mabuk kepayang. Tanganku hampir gemetar saat memasangkan kalung bulu ayam itu. Jarak kami yang hanya beberapa centi membuat hidungku mampu menangkap jelas aroma parfumnya, bahkan hembus napasnya begitu hangat menerpa pori-pori lenganku.


"Besok jangan lupa lagi, ya" ucapku sambil berusaha menyembunyikan rasa gugup. Ia hanya mengangguk pelan.


Itu adalah momen yang tidak mungkin terlupakan, saat pertama kali merasakan jantung berpacu kencang di depan seorang perempuan.


Tapi gadis satu ini dingin sekali, dia hampir tak bereaksi. 


Hari-hari berikutnya, aku hanya bisa mencuri-curi pandang. Sesekali aku basa-basi saat bertemu dengannya tapi responnya datar saja. Mungkin dia memang tidak tertarik padaku, atau mungkin sudah ada nama cowok lain di hatinya. Pernah sekali aku menyapanya di kantin tapi dia menghindar, bahkan senyumnya saja sulit untukku lihat. Padahal biasanya aku tidak pernah kesulitan membuat lawan jenis terpesona. Gadis ini beda.



Bahkan sampai lulus sekolah, usahaku untuk mendekatinya tak pernah berhasil. Diska selalu punya cara menghindar ketika berhadapan denganku. Apa jangan-jangan dia kesal karena kubentak saat hari pertama MOS itu, ya?



Waktu terus berlalu hingga aku hampir melupakan gadis itu, tapi kemudian aku merasa bahwa semesta berpihak padaku ketika pada suatu pagi aku melihatnya lagi di kampusku. Kita satu kampus? wah artinya usahaku kini masuk ke dalam babak tambahan waktu. Aku akan kembali berusaha lagi sampai peluit akhir berbunyi.


Tapi ya, gadis satu ini memang sulit sekali didekati.


"Woy, liatin apaan sih? gak ngedip-ngedip," sergah Bayu, teman sekelasku saat ia memergoki aku yang sedang duduk di tangga lobby kampus, sambil memandangi seorang perempuan di ujung sana. Aku bergeming, mataku masih tidak beranjak dari Diska, yang kala itu sedang bersama seorang teman perempuannya Agret. Mereka memang sudah berteman dekat sejak SMA. Agret adalah orang yang pernah membantuku memberikan kado di ulang tahun Diska tahun lalu. Agret pula yang menyarankan aku untuk merahasiakan nama pengirimnya agar terkesan lebih romantis gitu. Dari dia pula aku banyak tahu tentang Diska.


"Diska apa Agret nih?" tanya Bayu lagi sambil ikut memandangi kedua gadis itu.


"Pake nanya," gerutuku. Ya, Bayu sudah tahu kalau aku mengagumi Diska sedari dulu. Sejak SMA, meski belum sempat kuungkapkan, tiba-tiba senyumku merekah saat melihat Diska mengeluarkan buku diary yang kuberikan padanya secara diam-diam lewat Agret pada ulang tahunnya tahun kemarin.


"Berarti dia suka," eh tunggu dulu, tapi dia gak gak tahu kalau aku yang mengirim hadiah itu. Apa kuberitahu saja? ah jangan, sikapnya saja begitu dingin, aku takut nanti jika kuberitahu dia malah membuang diary itu. Biarkan saja aku akan jadi pengagum rahasianya seperti saran Agret. Sampai aku punya waktu yang tepat untuk mengungkapnya. Ya, aku akan beritahu dia nanti saat aku sudah berkerja mapan, biar dia tahu bahwa aku serius menyukainya, bukan hanya untuk pacaran main-main saja.


Begitulah ceritanya hingga aku terus mengirimi Diska kado dengan sampul yg sama setiap tanggal ulang tahunnya, kado berwarna hijau muda yang selalu kutitipkan pada Agret.


"


Hingga akhirnya hari itu tiba. Hari dimana aku akan menunjukkan jati diriku. Kini aku sudah menjadi seorang karyawan tetap di sebuah bank swasta di kota kecil ini.


27 September 2011


Tepat di tanggal ulang tahunnya kali ini, aku sendirilah yang akan membawakan kado untuknya, aku sudah mengantongi alamatnya. Dengan persiapan yang matang, aku melangkah menuju rumah kediaman perempuan bernama Anindiska itu. Aku tidak sabar melihat reaksinya, apakah dia akan terkejut, marah, senang atau apa? aku sudah siap dengan kemungkinan yang akan terjadi, yang penting aku harus mengakuinya dengan jantan.


Dari kejauhan aku melihat ada keramaian, kulirik lagi alamat rumah yang kusimpan untuk memastikan bahwa aku tidak salah rumah, benar ini rumah Diska. Ada acara apa ya kok ramai sekali. Ooh iya ini kan hari ulang tahunnya waw meriah sekali acara ulang tahunnya. Aku semakin mendekat berusaha mencari sosok Diska di antara keramaian. Tiba-tiba seseorang menegurku dari belakang.


"Kak Rama juga datang?" ia bertanya dengan nada yang amat lembut. Aku menoleh, mataku menangkap sosok perempuan bergaun putih. Aku masih sangat mengenalinya meski wajahnya dibalut make up tebal.


"Acara ulang tahunnya meriah sekali," jawabku. Diska tampak terkejut mendengarnya. Haha dia pikir aku tidak tahu kalau hari ini adalah tanggal ulang tahunnya? asal kamunl tahu aja, aku loh orang yang tiap tahun memeberimu kado berwarna hijau muda itu" batinku.


"Ini bukan acara ulang tahun, Kak" ucapnya kemudian. Aku mengertukan kening. Kupandangi lekat wajahnya. Ia tidak terlihat sedang bercanda.


"Ini acara pernikahanku," sambungnya.


Aku terbelalak, kepalaku terasa seperti dihantam tabung gas 3 kilogram. Nadiku seakan berhenti berdenyut.


"Pernikahan?"


"Memangnya kakak gak baca tulisan di undangannya?" tanya Diska lagi.


"Undangan?" aku gak dapat undangan, aku kesini atas inisiatifku sendiri, karena ini hari ulang tahunmu, makanya aku datang untuk memberikan kado ini," jelasku sambil mengngkat kado yang sejak tadi kupegang. Saat ini hatiku sedang amat kacau. Masih antara percaya atau tidak bahwa ini adalah hari pernikahan Diska.


Sementara Diska memandangi kado yang kubawa, ia sepertinya mengenali bungkus kado itu.


"Jangan bilang kalau kak Rama …"


"Iya, akulah orangnya, aku yang selama ini ngirim kado ke kamu," Tidak terasa kelopak mataku mulai panas. Jantungku berpacu amat kencang.


"Kenapa baru sekarang kakak bilang?" 


Ah sial, kenapa dia bertanya seperti itu. Apakah itu berarti jika aku bilang lebih awal maka dia akan menerima aku?


"Sebenarnya aku 


"Padahal aku yang ingin memberinya kejutan, tapi malah aku yang dikejutkan," 


Selesai







Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.