Pelajaran Berharga dari Pensiunnya Eric Cantona
Di tengah dunia yang semakin bising dengan gemuruh pencapaian, ambisi, target, dan angka-angka prestasi, satu kata yang kerap luput dari perhitungan adalah: passion. Gairah. Semangat. Energi yang tak bisa dilihat, tapi bisa dirasakan dampaknya. Itulah yang membedakan seseorang yang benar-benar hidup dalam pekerjaannya dan yang hanya sekadar menjalani.
Dan salah satu pelajaran paling gamblang tentang pentingnya passion datang dari sosok yang tak terduga, Eric Cantona. Seorang legenda Manchester United, ikon Premier League, dan pesepakbola nyentrik dengan bakat sebesar egonya. Namun justru dari pria flamboyan ini kita belajar, bahwa kerja bukan sekadar uang, popularitas, atau kejayaan, melainkan soal keberanian mengikuti apa yang benar-benar membuat hati menyala.
Eric Cantona bukan pemain biasa. Ia dikenal dengan gaya bermain yang artistik, kharisma yang menggetarkan ruang ganti, serta keberanian di dalam dan luar lapangan. Bagi fans Manchester United, nama Cantona tak sekadar legenda, ia adalah "The King". Pria asal Prancis ini datang ke Old Trafford pada tahun 1992 dan seketika mengubah DNA klub.
Dalam kurun waktu singkat, Cantona memenangkan empat gelar Premier League dan dua Piala FA. Ia menjadi kapten, pemimpin, inspirator. Bahkan di saat-saat ketika Manchester United butuh penyelamat, Cantona-lah yang melangkah dengan dada tegap dan kerah baju yang selalu berdiri.
Namun, pada tahun 1997, ketika dunia sedang memujanya, ketika United baru saja menjuarai liga, ketika ia masih menjadi jantung permainan tim, Eric Cantona memutuskan pensiun. Usianya baru 30 tahun. Ia masih berada di puncak karier. Tak ada cedera parah. Tak ada skandal. Tak ada tekanan media. Hanya satu alasan sederhana yang mengejutkan semua orang: "Saya sudah tidak memiliki gairah bermain sepakbola lagi."
Keputusan Cantona membuat banyak orang bingung. Mengapa seseorang yang sedang berada di puncak justru memilih gantung sepatu?
Jawabannya kembali ke satu kata tadi: passion.
Ketika gairah itu hilang, semua hal hebat pun terasa hambar. Ketika hati tidak lagi menyala, bahkan stadion penuh sorak pun terasa sunyi. Uang bisa terus mengalir, kontrak bisa terus berdatangan, tapi jiwa yang kosong tidak bisa dibeli kembali.
Cantona memilih berhenti karena ia tahu, terus bertahan tanpa passion adalah bentuk kebohongan terhadap dirinya sendiri, terhadap rekan-rekannya, terhadap permainan yang dulu ia cintai. Ia tidak ingin menjadi pemain yang bermain hanya karena kewajiban, hanya karena nama besarnya, hanya karena fans yang mendewakannya.
Itulah keberanian yang jarang dimiliki banyak orang: berhenti di puncak, karena tahu tidak ada lagi yang bisa dinyalakan dari dalam.
Di luar sana, banyak orang yang tetap bertahan dalam pekerjaan yang sudah tak lagi mereka cintai. Karena gaji. Karena status. Karena takut mengulang dari awal. Tak salah. Tapi hidup yang digerakkan ketakutan akan jauh berbeda dari hidup yang digerakkan oleh passion.
Bayangkan seorang dokter yang sudah muak dengan dunia medis tapi terus bertahan demi gengsi. Seorang dosen yang mengajar tanpa semangat hanya karena aman secara finansial. Seorang content creator yang sudah jenuh berkarya tapi terjebak algoritma dan ekspektasi followers.
Kita menjadi mesin, bukan manusia.
Cantona memberi pelajaran bahwa keberanian sejati bukanlah terus mendaki tanpa henti, tapi tahu kapan saatnya turun, dengan kepala tegak dan hati yang jujur.
Yang menarik, setelah pensiun, Cantona tidak tenggelam. Ia justru mengejar passion lainnya: akting, seni, dan film. Ia bermain dalam puluhan film, menjadi produser, bahkan menyutradarai. Ia tidak berusaha mempertahankan citra sebagai pesepakbola legendaris. Ia memberi ruang bagi gairah lain untuk tumbuh.
Dari sini kita belajar: passion bisa berganti bentuk, tapi intinya tetap sama, menyalakan semangat hidup. Mungkin dulu kita mencintai sesuatu, tapi sekarang tidak lagi. Dan itu wajar. Jangan memaksa. Jangan membohongi diri sendiri. Dunia berubah, kita pun boleh berubah.
Yang penting, tetap jujur pada hati sendiri.
Di kantor, kita sering terjebak pada logika stabilitas. Gaji tetap, tunjangan, promosi. Tapi apakah itu cukup?
Passion dalam dunia kerja bukan berarti selalu senang setiap hari, tapi tentang merasa bahwa apa yang kita kerjakan punya arti, punya makna. Bahwa kita bukan sekadar mencentang to-do list, tapi benar-benar hadir dalam pekerjaan kita. Bahwa kita bisa bertumbuh, belajar, dan mencintai prosesnya.
Eric Cantona tidak memaksa dirinya menjadi mesin gol demi statistik. Ia pergi saat tahu ia tak bisa lagi memberi dengan sepenuh jiwa.
Kita pun sebaiknya sesekali bertanya: apakah aku masih mencintai pekerjaanku? Masihkah ada api itu? Jika tidak, apa yang bisa menyalakannya kembali? Atau apakah sudah saatnya membuka lembaran baru?
Sebagian orang berkata, “Gampang bilang begitu kalau kamu seperti Cantona, sudah kaya, sudah terkenal. Kami orang biasa, tak bisa seenaknya.” Ada benarnya. Passion memang terasa seperti hak istimewa bagi sebagian orang.
Tapi passion juga soal attitude. Banyak orang biasa yang hidup luar biasa karena mereka memilih hadir sepenuh hati dalam apa pun yang dikerjakan. Petugas kebersihan yang bekerja dengan bangga. Guru honorer yang mengajar dengan cinta. Penulis yang terus menulis meski karyanya belum dikenal.
Passion tidak selalu datang karena kondisi ideal. Sering kali, passion muncul karena kita memilih untuk peduli. Karena kita melihat makna dalam apa yang kita lakukan. Karena kita percaya bahwa sekecil apa pun peran kita, dunia bisa jadi lebih baik karenanya.
Tidak ada komentar: