Cinta Tak Mungkin Buta


Empat kali sudah kuusap mata, tapi pandanganku tetap sama. Tidak salah lagi, dia adalah orang yang pernah kukenal sebelumnya. Laki-laki berambut cepak yang sedang asyik menyeruput segelas minuman dingin itu adalah orang yang sama yang dulu pernah berkata bahwa aku adalah segalanya bagi dia. Tapi tiga kali malam minggu berlalu, ia tidak pernah lagi menghubungiku. Ya tepatnya setelah kami sepakat menyudahi hubungan yang telah berlangsung lebih dari sewindu.


Baru saja kuayun langkah untuk menghampirinya, tiba-tiba kaki berhenti dengan sendiri saat mataku menangkap sosok perempuan dengan kemeja biru datang membawa nampan berisi makanan, duduk tepat di meja yang sama.


Siapa dia? kekasih barunya? secepat itukah? di saat aku masih berusaha keras memperbaiki kepingan hati yang retak, dia ternyata malah sudah sebegitu mudah menemukan penggantiku.


Aku mulai gusar, bohong jika aku bilang aku tidak cemburu. Karena laki-laki bernama Ahri itu jelas masih jadi harapanku. Meski kami sepakat untuk berjalan sendiri-sendiri. Bukan berarti perasaan ini lantas berhenti. Tapi kenapa secepat itu dia berpaling pada yang lain? apa dia lupa, bahwa keputusan kita berpisah adalah untuk sama-sama merenung, memikirkan kesalahan masing-masing, agar tak perlu lagi ada perdebatan panjang setiap kali kita bicara tentang kapan kita ke pelaminan. Tapi sepertinya dia tidak berpikir demikian. Buktinya dia tampak sangat menikmati momen bersama perempuan itu. Sebenarnya dia sayang gak sih sama aku?


Mood Ku benar-benar berantakan, aku langsung bergegas pulang, membanting pintu kamar dan melemparkan badan ke ranjang. Membenamkan wajah di balik bantal dan … ya, aku menangis. Menangisi dia yang kini sedang tertawa bersama yang lain. Miris memang, tapi siapa yang bisa bohong pada hatinya? … huft. Tiba-tiba aku merasa menyesal sudah mengakhiri hubungan ini, karena tadinya kupikir perpisahan ini hanya akan jadi jeda, untuk kemudian akan kami lanjutkan dengan sebuah komitmen yang jauh lebih serius. Tapi kalau melihat gelagatnya tadi, sepertinya ini benar-benar akan jadi perpisahaan yang sungguhan. Namun, jika aku terus mempertahankan hubungan, sampai kapan? harus berapa lama lagi aku menunggu?


Tahun ini, usiaku berada di ujung kepada dua, sudah tidak banyak waktu bagiku untuk sekadar berpacaran, aku butuh keseriusan. Aku selalu jadi orang paling bingung ketika keluarga bertanya kapan dia akan melamarku? yang paling kutakutkan adalah ketika aku sudah bertahun-tahun menutup pintu kesempatan untuk pria lain, namun orang yang kuharapkan tak kunjung datang memberi kepastian.


Teman-teman seangkatanku sudah pada gendong anak, bahkan beberapa sudah punya lebih dari satu. Tapi aku masih saja menunggu. Menunggu dia yang masih saja begitu.


Aku bangkit dan duduk sambil memeluk bantal yang sedikit basah. Kuusap kedua mataku. Kenapa aku menangis?


Aku segera mengeluarkan ponsel dari tas dan membuka sebuah dm di instagram ku. Kelamaan  nggak ya? aku menimbang2, kupelototi pesan dari seorang lelaki itu, sudah 6 hari yang lalu tapi aku belum membalasnya. Akhirnya aku memberanikan diri untuk mengetik jawaban.


Hari ini aku free, bisa ketemu? lalu kutekan tombol kirim. Hanya beberapa detik saja pesan itu langsung dibaca dan dia mulai mengetik. Aku  penasaran apa yang akan dia bilang.


"Aku di depan rumah kamu," begitu pesan darinya.


"Hah? di depan rumah aku?" aku mengerutkan kening, dia ini punya pintu kemana saja apa gimana, sih?


"Iya," balasnya lagi.


Aku segera keluar menuju jendela depan untuk memastikan. Benar saja, aku bisa dengan jelas melihat vespa matic warna putih itu parkir di bawah pohon mangga depan rumah. Sementara seorang laki-laki bertengger di jok lengkap dengan tas rangsel di bahunya.


"Sejak kapan kamu di sana?" aku mengirim pesan itu sembari berjalan menuju pintu.


"Sejak dari kamu masuk ke rumah," balasnya.


Kulirik pesan yang masuk, dengan penuh tanya, aku membuka pintu dan keluar menghampirinya.


"Kok nggak manggil?" tanyaku.


"Takut ganggu," sahutnya


"Terus ngapain di sini?"


"Nungguin kamu," jawabnya


"Kalau aku nggak keluar gimana?"


"Aku yakin kamu pasti keluar,"


"Yaudah masuk, dingin tau di sini," aku melangkah masuk, tapi lelaki itu masih diam duduk di jok motornya sambil muter-muter kaca spion.


"Ayo masuk!" aku mengajaknya sekali lagi.


"Aku maunya bukan masuk ke rumah,"


"Terus?"


"Aku mau masuk ke hati kamu, ke dalam hidup kamu," kali ini dia turun dari motornya dan mendekat. "Bisa?" tanyanya.


Eh, eng, aku gelagapan ditodong pertanyaan itu. Aku diam, terperangkap dalam kegalauan. Terang saja hatiku kacau balau, sebab aku tentu belum bisa move on tapi lelaki yang satu ini datang begitu serius. Dia bahkan bilang siap melamarku dalam waktu dekat.


"Kok diam?" suara paraunya mengacaukan lamunanku. Aku menghela napas panjang.


"Masuk dulu!" titahku, lalu berbalik menuju sofa. Kali ini ia membuntut. Ia duduk tepat di seberangku, dan tas rangselnya ia letakkan di di bawah menutupi kakinya.


"Ibu kamu mana?" tanyanya.


Hatiku berdegub kencang. Jangan-jangan ia mau bilang ke ibu. Waduh gimana ini?


"Ada di dalem," jawabku pelan. Tiba-tiba saja aku merasa amat grogi. Ah kenapa suasananya jadi tegang begini.


"Jadi gimana?" ia kembali bertanya.


"Apanya?" jawabku asal.


"Nursya, Kamu mau gak nikah sama aku?"


Jedar!!! rasanya seperti kipas angin besar di langit-langit ruang tamu itu baru saja menimpa ubun-ubunku. Aku gemetar, badanku berkeringat dingin. Pertanyaan ini adalah yang selama ini kunanti, tapi kali ini aku malah mendengarnya dari mulut pria lain. Oh Ahri, dasar bodoh! kenapa kamu gak pernah bilang begini setelah sembilan tahun kita bersama? kamu serius gak sih? kenapa lelaki yang baru kukenal kurang dari setahun ini yang malah dengan berani mengatakannya.


Kutatap lekat pria di hadapanku, sebenarnya dia adalah sosok yang ideal, wajahnya bisa dibilang tampan, terawat. Dia sudah bekerja mapan dan yang paling hebat, dia sudah siap menikah, bahkan secepatnya.


Tapi memang hati tidak bisa dipaksa. Cinta tidak datang hanya oleh hal-hal ini indah di depan mata.  Tidak sesederhana itu. Alasan lainnya bahwa aku jelas tidak bisa begitu saja memadamkan kenangan bersama Ahri. Aku selalu merasa terhibur jika mengingat bagaimana kita main ice skating di taman anggrek, aku hampir jatuh, lalu Ahri dengan cekatan menangkap tubuhku bak pemeran utama dalam film-film romantis kekinian.


Atau waktu dia menemaniku makan di Solaria Kuningan City saat  bulan ramadan 3 tahun yang lalu, padahal dia sedang puasa. Aku yg lagi datang bulan, menyuruhnya menunggu di luar, tapi dia tetap ikut duduk dan malah nyuapin aku.


Dan yang paling lekat dalam ingatan adalah ketika ia main ke rumah membawa martabak kesukaanku, padahal kami sekeluarga baru saja menghabiskan dua kotak martabak keju susu dengan susah payah. Akhirnya martabak yang dia bawa itu ia habisin sendiri.


Dia juga pernah dengan santainya memesankan makan siang lewat aplikasi online untukku di kantor, dan menuliskan "pacarnya Ahri" sebagai nama penerimanya. Sumpah aku malu banget, ya aku sebenarnya senang sih tapi tidak pada tempatnya. Masih terngiang driver jangkung itu berteriak "pesanan Pacarnya Ahri" Seketika seisi ruangan menoleh dan semua mata menyerbuku dengan tatapan geli.


"Hei, kok malah bengong?" sebuah suara mengejutkaanku. Oh my God aku lupa kalau aku masih duduk di ruang tamuku bersama dia.


"Eh iya, mau minum apa?" aku berusaha mengalihkan.


"Aku bawa minum, kok," langsung saja dia mengeluarkan sebotol aqua 1,5 liter dari dalam tasnya. Aku mengernyitkan kening. Dia bawa botol minum segede itu? niat banget gak, sih? Duh aku berharap ada sesuatu yang bisa mencairkan suasana. Padahal bersama Akhi aku bisa ngobrol berjam-jam tanpa bosan. Walau kadang percakapan kami seringkali diisi dengan perdebatan gak penting seperti bumi itu bulat atau datar, makan bubur diaduk atau nggak, Niel Amstrong beneran pernah ke Bulan atau nggak, dan banyak lagi. Tapi sekarang baru beberapa menit aku merasa sudah bingung untuk berbicara. Pria yang satu ini terlalu serius, tak suka basa-basi.


Aduh terus aku harus gimana?


"Aku kamar mandi sebentar," ucapku, tanpa menunggu jawaban darinya, aku berbegas ke belakang.


****


Jam dinding sudah menunjuk ke angka 1, jarum panjang ada sedikit di depannya. Sudah lewat dari tengah malam tapi aku belum bisa tidur. Sebuah foto yang 4 jam lalu di upload Ahri menjadi penyebabnya. Fotonya yang sedang bersama seorang perempuan itu sempurna membuatku gelisah. Perempuan itu lagi? siapa, sih, sebenarnya dia? apa dia benar-benar pacar barunya Ahri? Sepertinya memang Ahri menikmati perpisahan ini.



4 bulan berlalu, kini aku telah berusaha melupakan semua hal tentang Ahri, dan  mencoba menerima kehadiran Noval, pria yang kuceritakan tempo hari, yang pada akhirnya berhasil meluluhkan hatiku setelah berkali kali melewati penolakan halus. Dia ternyata tidak main-main. Hanya seminggu sejak aku mengangguk setuju, dia benar-benar datang bersama keluarganya untuk melamarku.


Dan pernikahan pun terjadi. Begitu meriah.



Setengah tahun pertama pernikahan, semua berjalan normal. Tapi bulan berikutnya tak seindah dugaan. Entah kenapa aku merasa hubungan ini hambar.  Noval terlalu dingin dan serius. Jujur saja sebagai wanita, aku merindukan gelak tawa serta senda gurau bersama suami tercinta. Lalu kemudian setiap tindakannya seringkali kuanggap salah, hingga tak jarang hal-hal sepele memicu pertengkaran besar.


Awalnya aku berpikir bahwa ini adalah bawaan hami. Tapi ternyata setelah buah hati kami lahir, rasanya tetap saja sama. Meski secara materi, Noval sangat mencukupi, tapi aku tidak bisa berdusta bahwa aku tidak bahagia.


Hari-hariku terasa begitu sepi, padahal gadis mungil kami selalu berisik setiap hari. Sampai akhirnya, perpisahan adalah jalan yang kami sepakati.


Tidak pernah ada penyesalan yang akan berani datang di awal. Maka dari itu, pertimbangkan dengan matang sebelum mengambil sebuah keputusan besar. Kamu mungkin saja bisa melangkah tanpa beban. Tapi bagaimana dengan orang-orang disekitarmu? bagaimana dengan anakmu yang akan menjadi korban perceraian? sungguh ia tidak akan pernah tumbuh dengan kasih sayang yang utuh. Bagaimana orang tuamu? mertuamu? adik atau kakak serta iparmu? bagaimana jika salah satu dari mereka ternyata sangat mengandalkanmu, lalu kamu kini bukan lagi kamu yang sebelumnya? perceraian seperti halnya juga pernikahan, itu tidak hanya tentang kamu dan pasanganmu. Lebih dari itu ada dua keluarga besar yang sedikit banyak akan ikut tersakiti oleh perpisahan yang pasti tak diingini. Tapi aku terlalu egois, bukan saat ini, bukan saat memutuskan perpisahan ini. Tapi aku terlalu egois dulu saat pertama kali menerima pinangan Noval. Padahal aku tahu dengan sangat bahwa hatiku mencintai Ahri.


Satu hal yang ingin kuberitahu pada kalian. Jangan pernah menikah untuk alasan apapun selain cinta. Karena cinta lah yang akan membuatmu bertahan saat biduk rumah tangga terguncang. Cinta adalah perisai yang mampu meredam amarah ketika pasanganmu berbuat salah. Tanpa cinta, pernikahanmu hanya sekadar menghalalkan yang haram saja.


Selesai

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.